Senin, 22 Juni 2009

MU’TAZILAH

BAB I

PENDAHULUAN

Dunia Islam yang begitu banyak warna aliran telah memunculkan pula ajaran-ajaran yang menurut aliran masing-masing mengatakan sesat pada aliran- aliran selainnya. sebut Mu’tazilah salah satunya. Aliran Mu’tazilah dulu merupakan aliran kecil yang kemudian berkembang dan bahkan pernah diakui oleh salah satu kekhalifahan Islam sebagai aliran Islam yang benar ajaran-ajarannya yang kemudian diakui sebagai agama kenegaraan.

Namun datangnya masa kekhalifahan yang baru, pandangan “benar” itupun berubah sampai pada akhirnya Aliran Mu’tazilah bersama ajaran-ajarannya luput dari permukaan Islam, hilang, terkecuali dalam sejarah.

Kemudian, di era modern seperti ini, ajaran-ajaran itu muncul kembali ke permukaan menjadi Neo-Mu’tazilah atas pengaruh dua tokoh modernisme yaitu Jamaluddin Afgani dan Syekh Muhammad ‘Abduh.

BAB II

MU’TAZILAH

A. Latar Belakang Kelahiran Mu’tazilah

Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosifis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.

Berbagai analisa yang dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku-buku ilmu kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi Wasil ibn Atha’ serta temannya ‘Amr ibn Ubaid dan Hasan al-Bashri di Bashrah. Pada suatu hari dating seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana diketahui kaum Khawarij memandang mereka kafir sedang kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Bashri masih berpikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian dia berdiri dan menjatuhkan diri dari Hasan al-Bashri pergi ke tempat lain di masjid; di sana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini, Hasan al-Bashri mengatakan: Wasil menjauhkan diri dari kita (اعتزل عنّا)”. Dengan demikian ia serta teman-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kamu Mu’tazilah.

Versi lain yang diberikan Tasy Kubra Zadah, menyebut bahwa Qatadah ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke Masjid Bashrah dan menuju ke majelis ‘Amr ibn ‘Ubaid yang disangkanya adalah masjid Hasan al-Bashri. Setelah ternyata baginya bahwa itu bukan majelis Hasan al-Bashri ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata “Ini kaum Mu’tazilah”. Semenjak itu, kata Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu’tazilah.

Al-Mas'udi memberikan keterangan lain lagi. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara kedua posisi itu (almanzilah bain almanzilatain). Menurut versi ini, mereka disebut kamu Mu’tazilah, karena mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.

Disamping keterangan-keterangan klasik ini, ada teori baru yang dimajukan oleh Ahmad Amin. Sebutan Mu’tazilah sudah ada sebelum masa Hasan al-Bashri, kurang lebih 100 tahun. Penyebutan Mu’tazilah untuk Wasil ibn ‘Atha, ‘Amr ibn ‘Ubaid dan kawan-kawannya hanya menghidupkan kembali sebutan lama. Suatu hal yang sukar diterima akal, kalau sebutan Mu’tazilah sebagai suatu aliran yang mempunyai corak pemikiran dan metode yang tertentu, terjadi hanya karena perpindahan tempat yang dilakukan oleh Wasil dari satu sudut masjid ke sudut yang lain. Dalam pada itu, riwayat yang pertama masih disangsikan kebenarannya, karena menurut satu riwayat, yang mempunyai pengajian itu Qatadah, bukan Hasan Bashri. Menurut riwayat lain lagi, yang memisahkan diri hanya Wasil ibn ‘Atha saja atau ‘Amr ibn ‘Ubaid saja.

Untuk mengetahui asal-usul nama Mu’tazilah itu dengan sebenarnya memang sulit. Yang jelas, bahwa nama Mu’tazilah sebagai designate bagi aliran teologi rasional dan liberal dalam Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan al-Bashri di Bashrah. Dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa Bashrah itu telah pula terdapat kata-kata i’tazala, al-mu’tazilah.

B. Al-Ushul Al-Khamsah

  1. At-Tauhid

At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan inti sari ajaran mu’tazilah. sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Namun, bagi mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya Dia-lah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak bermulaan).

Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih), mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan (antromorfisme tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satupun yang menyerupai-Nya. Wasil bin Ata, seperti dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan, “siapa yang mengatakan sifat yang qadim berarti telah menduakan Tuhan. Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.

  1. Al-Adl

Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkkan kesempurnaan. Karena Tuhan Maha Sempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik (ash-shalah) dan terbaik (al-ashlah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janji-janji-Nya. Dengan demikian, Tuhan terikat dengan janji-Nya.

  1. Al-Wa’d wa Al-Wa’id

Ajaran ketiga ini erat hubungannya dengan ajan kedua di atas. Al- wa’d wa al-wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Maha adil dan bijaksana tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang baik (al0muthi’) dan mengancam siksa neraka atas orang yang durhaka (al-‘ashi), begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang bertobat nasuha pasti benar adanya. Ajaran ini tampaknya bertujaun mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.

  1. Al-Manzilah bain Al-Manzilatain

Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya madzhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, Khawarij menganggap orang tersebut kafir bahkan musyrik, sedang murji’ah berpendapat orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan.

Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan mukmin secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkan kedurhakaan.

  1. Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy ‘an Al-Munkar

Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemunkaran (Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy ‘an Al-Munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.

Perbedaan madzhab Mu’tazilah dengan madzhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.

Demikianlah ajaran-ajaran yang ditinggalkan Wasil. Dua dari ajaran-ajaran tersebut yaitu posisi menengah dan peniadaan sifat-sifat Tuhan, kemudian menjadi merupakan bagian integral dari al-ushul al-khamsah atau Pancasila Mu’tazilah.

Menurut al-Malatti, Wasil mempunyai dua murid penting yang masing-masing bernama Bisyr ibn Sa’id dan Abu Usman Al-Za’farani. Dari kedua murid inilah dua pemimpin lainnya, Abu al-Huzail Al-‘Allaf dan Bisyr ibn Mu’tamar menerima ajaran-ajaran Wasil. Bisyr sendiri kemudian menjadi pemimpin Mu’tazilah cabang Baghdad.

Sebagai dikatakan, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an yang dalam istilah teologi disebut Kalam Allah, bukan qadim atau kekal, tetapi hadis dalam arti baru dan diciptakan Tuhan.

C. Penilaian Tentang Aliran Mu’tazilah

Kaum Mu’tazilah sebagaimana disebut di Bab I, telah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Aliran Mu’tazilah masih dipandang aliran yang menyimpang dari Islam dan dengan demikian t9idak disenangi oleh sebagian umat Islam, terutama di Indonesia. Pandangan demikian timbul karena kaum Mu’tazilah dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh dengan perantaraan rasio.sebagaimana0 diketahui, kaum Mu’tazilah tidak hanya memakai argumen rasional, tatapi juga memakail ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi untuk mempertahankan pendirian mereka.

Tetapi atas pengaruh Jamaluddin Afgani dan Syekh Muhammad ‘Abduh, sebagai dua pemimpin modernisme yang utama dalam Islam, keadaan di atas telah mulai berubah. Telah ada pengarang-pengarang bahkan alim ulama yang mulai membela kaum Mu’tazilah.

ü Al-Nasysyar, Guru besar falsafat Islam di Universitas Alexandria ini berpendapat bahwa al-Nazzam-salah satu tokoh Mu’tazilah- adalah orang lurus serta benar (shadiq) yang banyak usahanya dalam membela Islam.

ü Ahmad Mahmud Subhi, Dosen Falsafat Islam di Universitas Alexandria ini, menerangkan bahwa paham yang mengatakan al-I’tizal sama artinya dengan perpecahan (insyiqaq=schism) timbul sesudah abad ke-4 H. Tetapi dalam penyelidikan-penyelidikan baru yang diadakan, tidak kita jumpai alasan-alasan kuat untuk membenarkan pendapat lawan-lawan Mu’tazilah, dan kebanyakannya dari golongan Asy’ariah, bahwa al-I’tizal berarti perpecahan (schism) dari aliran Ahli Sunnah wa al-Jama’ah

ü Ahmad Amin berpendapat bahwa kaum Mu’tazilah adalah golongan Islam yang pertama memakai senjata yang dipergunakan lawan-lawan Islam dari golongan Yahudi, Kristen, Majusi dan Materialis dalam menangkis serangan-serangan terhadap Islam di permulaan kerajaan Bain Abbes. Dalam pendapatnya, “malapetaka terbesar yang menimpa umat Islam ialah lenyapnya kaum Mu’tazilah”. “Sekiranya ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah dijalankan sampai hari ini, kedudukan umat Islam dalam sejarah akan berlainan dengan kedudukan mereka sekarang. Sikap lekas menyerah pada nasib membuat umat Islam lemah. Paham fatalisme melumpuhkan mereka, sedang sikap tawakal membuat mereka senantiasa dalam keadaan statis”.

ü Syekh Muhammad Yusuf Musa. Dalam uraiannya mengenai kaum Mu’tazilah dan kaum Asy’ariah, dia mengeluarkan pendapat-pendapat yang mengandung nada setuju dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah tersebut terutama ketika membicarakan paham Qadariah Mu’tazilah dan paham Kasb kaum Asy’ariah.

ü Syeh Muhammad Ahmad Abu Zahra Pertentangan-pertentangan teologi yang terdapat Islam tidaklah mengenai inti dan dasar dari ajaran-ajaran Islam, yang membuat seseorang menjadi kafir kalau tidak percaya pada dasar-dasar itu. Pertikaian hanyalah mengenai furu’ atau perincian yang tidak menyebabkan seseorang menjadi kafir kalau pahamnya dalam hal ini bertentangan dengan paham orang lain. Dalam uraian ini, secara implisit Abu Zahra menolak tuduhan orang bahwa aliran Mu’tazilah adalah aliran kafir yang menyeleweng dari Islam.

ü Syekh ‘Ali Musthafa al-Ghurabi, Guru besar di Fakultas Syari’ah di Mekkah ini menulis:

Dari uraian ringkas ini, dapatlah diketahui ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah dalam lapangan teologi Islam. Jika sekiranya tidak ditakdirkan Tuhan bahwa kaum Mu’tazilah bangkit untuk membela Islam, ‘Ilm al-Kalam dengan kekayaannya yang besar itu tidak akan muncul, dan kita tidak akan sanggup membela Islam dari serangan-serangan dari luar”.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Nama “Mu’tazilah” untuk aliran Mu’tazilah banyak sekali versi yang berbeda-beda namun memang saling berkaitan. Dari sekian banyak versi ada versi baru dari Muhammad Amin yang mengatakan bahwa sebutan Mu’tazilah sudah ada sebelum masa Hasan al-Bashri, kurang lebih 100 tahun. Penyebutan Mu’tazilah untuk Wasil ibn ‘Atha, ‘Amr ibn ‘Ubaid dan kawan-kawannya hanya menghidupkan kembali sebutan lama.

Lima ajaran Mu’tazilah atau bisa dibilang Pancasila Mu’tazilah ialah:

1. At-Tauhid atau pengesaan Tuhan

2. Al-Adl, artinya Tuhan Maha Adil

3. Al-Wa’d wa Al-Wa’id atau janji dan ancaman

4. Al-Manzilah bain Al-Manzilatain atau posisi diantara dua posisi

5. Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy ‘an Al-Munkar atau menyuruh kebajikan dan melarang kemunkaran.

B. Kritik dan saran

Alhamdulillah, akhirnya penyusun dapat menyelesaikan pemenuhan Mata Kuliah Ilmu Kalam ampuan Drs. H. Ahmad Qodim Suseno yang berupa resuman ini dengan berbagai kekurangan di sana-sini khususnya dalam tata letak yang kurang sesuai antara ringkasan satu buku dan buku lainnya yang penyusun tuang dalam satu wadah yang sama. Untuk itu penyusun mengharap maklumnya serta mengharap saran yang baik untuk bekal penyusun di lain kesempatan.

PUSTAKA BACA

Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2007.

Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Hanafi, Ahmad, Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980.

Zakariyya, Abi, Yahya, Ghayat Al-Wushul Syarh Lubb Al-Ushul, Semarang: Thoha Putra.

Rozak, Abdul,dkk, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar