Senin, 01 Juni 2009

KECERDASAN EMOSIONAL YANG TERLUPAKAN

BAB I

Permasalahan

Tulisan yang ada di tangan pembaca ini boleh dikatakan sebagai protes dalam dunia pendidikan atau lebih tepat berupa kritikan yang dari sebab kelemahan pendidikan kita ini memperburuk citra Negara tercinta yang padahal sebagai Negara dengan komunitas beragama Islam.

Amat disayangkan dan sunguh ironis, sebagai Negara dengan komunitas beragama Islam yang merupakan agama yang di dalamnya berisi pengetahuan-pengetahuan universal mencakup segala aspek kehidupan, Indonesia tercinta ini kalah langkah dalam menyelesaikan masalah-masalah kehidupan.

Tidak tanggung-tanggung, kegagalan pendidikan ini justru begitu erat dengan para kalangan pelajar remaja dengan segala tindak-tanduknya yang meresahkan masyarakat. Tawuran antar siswa terjadi di sana-sini, mabuk-mabukan, dunia malam, ganja beserta obat-obatan terlarang, dunia malam juga pergaulan bebas seakan-akan sudah menjadi gaya hidup mereka yang dipandangnya “gaul”.

Melihat keadaan seperti ini tidak mengherankan jika pada nantinya sebagai lulusan dunia pendidikan hanya menjadi pengangguran bahkan sampah masyarakat.

Salah satu penyebab kurang berhasilnya pendidikan kita dalam membentuk generasi “khaira ummah” adalah kurangnya penekanan pendidikan yang memacu pada pembentukan moralitas. Pendidikan kita lebih mengacu pada tujuan atau hasil menciptakan bangsa pintar yang sedikit benar sehingga pada akhirnya justru menghasilkan manusia pintar yang minteri.[1]

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kecerdasan Emosional

Menurut KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian dari:

Emosional :1. Menyentuh perasaan; mengharukan, 2. Dengan emosi; beremosi; penuh emosi.

Cerdas :1. Sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti); tajam pikiran, 2. Sempurna pertumbuhan tubuhnya (sehat, kuat)

Kecerdasan : Perihal cerdas; kesempurnaan perkembangan akal budi (seperti kepandaian, ketajaman pikiran).

Yang :1. Menyatakan bahwa kata atau kalimat yang berikutdiutamakan atau dibedakan dari yang lain, 2. Menyatakan bahwa bagian kalimat yang berikutnya menjelaskan kata yang di depan, 3. Dipakai sebagai kata penyerta, 4. Adapun; akan, 5. Bahwa

Lupa :1. Lepas dari ingatan; tidak dalam pikiran (ingatan) lagi, 2. Tidak teringat, 3. Tidak sadar (tahu akan keadaan dirinya atau keadaan sekelilingnya, dsb), 4. Lalai; tidak acuh.

Terlupa :1. Tiba-tiba lupa; tidak teringat; sudah dalam keadaan lupa; tidak sengaja lupa.[2]

Kecerdasan berasal dari kata cerdas yang secara harfiyah berarti sempurna akal budinya, pandai dan tajam pikirannya. Selain itu cerdas dapat pula diartikan sempurna pertumbuhan tubuhnya seperti sehat dan kuat fisiknya.[3]

Sedangkan emosional berasal dari bahasa Inggris yaitu emotion yang berarti keibaan hati, suara yan mengandumg emosi, pembelaan yang mengharukan, pembelaan yang penuh perasaan.[4] Namun, dalam keumumannya, emosi sering digunakan sebagai kata yang berarti dorongan yang amat kuat dan cenderung mengarah kepada hal-hal yang kurang terpuji, sebagai contoh seperti halnya emosi yang ada pada kebanyakan remaja yang sedang mengalami kegoncangan. Perkembangan selanjutnya, emosional dikaitkan dengan kecerdasan sehingga menjadi istilah baru yakni “kecerdasan emosional” atau emotional Intelengence yang akhirnya mengalami perkembangn lebih baru lagi dan lebih umum berupa penggambaran sebagai potensi psikologis yang bersifat positif dan perlu sekali untuk dikembangkan.

B. Fakta Yang Terjadi di Masyarakat

Seperti yang telah penulis kemukakan di atas dalam permasalah bahwa bangsa yang seharusnya lebih maju dari bangsa lain dengan bekal pedoman al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan yang universal trnyata lebih menjadi budak kenikmatan dunia tanpa penyeimbangan dengan nilai-nilai moral, akhlak atau apapun namanya. Banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari di setiap sudut jalanan banyak sekelompok remaja yang kerjaannya kongkow[5] dan dengan peresapan nikmatnya dengan lantunan gitar-gitar mereka yang menurut penulis fals.

Belum lagi malam hari, di jalanan banyak dijumpai kalangan remaja putri yang menjadi kalong[6], bermain malam hari tanpa mengenal waktu kapan harus pulang. Dan sepertinya keadaan ini diperparah lagi dengan sikap orang tua yang acuh tak acuh, kurang tegas dalam menyikapi tingkah anak-anaknya. Indikasi ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memang sudah telat dienyam oleh orang tua-orang tua para remaja zaman sekarang sehingga tak ayal para orang tua menganggap perilaku anak-anaknya sebagai kesalahan yang wajar.

Selain itu teknologi ikut juga mempengaruhi kegiatan-kegiatan tanpa makna para remaja. Pengusaha cellular misalnya baik Indosat, Telkomsel dan lain-lain, begitu banyak promosi-promosi nelepon gratis yang jadwalnya di sekitar malam hari. Ini tentu saja dimanfaatkan oleh para remaja yang secara psikologis memang senang bergaul, menambah kawan sebanyak-banyaknya. Akibatnya, para remaja benar-benar menjadi kalong sejati, bergadang, dan berimbas kelelahan disebabkan rasa kantuk di siang hari. Lalu, kapan ada waktu bekerja atau belajar dengan kesiapan jasmani yang sehat?! Bayangkan, jika satu daerah para remaja bergadanga, bagaiman jika begitu pula dalam setiap daerah negara ini?! Berapa banyak pelajar dan pekerja lalai?

C. Fakta Yang Menyebabkan Terjadinya Masalah

Sudah jelas kiranya penyebab fakta dan fenomena yang terjdi di masyarakat kita ini. Di antaranya adalah:

1. Karena kegagalan sistem pendidikan kita yang hanya membina kecerdasan intelektual, wawasan dan keterampilan semata, tanpa diimbangi dengan membina kecerdasan emosional,[7] pendidikan yang diadakan hanya cenderung pengajaran lupa pada pengajaran. Padahal pendidikan dan pengajaran bisa dipadukan.

2. Orientasi pendidikan yang berjangka panjang telah berubah ke orientasi yang berjangka pendek, dari orientasi nilai dan idealisme berubah ke arah materialisme dan individualisme.

3. Metode pendidikan hanya melihat peserta didik seperti gelas kosong yang harus diisi, tidak melihat sisi kemanusiaannya yang di dalamnya terdapat potensi-potensi dasar yang harus dikembangkan.

Musya Asy’arie menjelaskan kata insan dalam al-Qur’an disebut 65 kali dalam 63 ayat yang kesemuaannya itu menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi kecerdasan dasar bawaan yang mampu menerima pelajaran dari Tuhan tentang pengetahuan yang tidak diketahuinya[8]. Kecerdasan inilah yang disebut kecerdasan emosional. Namun demikian, kecerdasan yang bersifar dasar bawaan setiap individu ini tidak mampu sepenuhnya menjadi tajam, perlu diasah dan dikembangkan, hal inilah yang dilupakan pakar-pakar kependidikan dalam merumuskan pendidikan yang ideal demi terciptanya generasi penerus bangsa yang cerdas sekaligus pandai plus shalih.

Penyebab lainnya yaitu kemajuan teknologi. Teknologi begitu pesat berkembang di Negara kita yang katro ini. Sehingga bangsa yang baru mengenal nikmatnya teknologi ini saking nikmatnya menerima begitu saja fasilitas-fasilitas dan promosi-promosi yang tanpa sadar merusak tatanan kehidupan. Di sini, telah kita jumpai dua pihak yang sama-sama salah, penguasa teknologi dan konsumen itu sendiri. Jika dikerucutkan lagi, maka akan kita temui satu penyebab yang sama dalam keduanya yaitu tidak adanya kecerdasan emosional yang pada akhirnya membuat pola pikir beku, bukannya membantu masalah dunia pendidikan malah justru memperburuk keadaan. Kapan kita akan terus begini dengan keadaan bangsa carut-marut?

D. Pembahasan dan Diskusi

Di atas telah penulis singgung bahwa emosi yang berkesan menjurus ke arah negatif, tidak terpuji pada perkembangan yang berkelanjutannya oleh Daniel Goleman di artikan sebagai potensi psikologis yang bersifat positif yang perlu dikembangkan. Selanjutnya, Daniel memberikan ungkapan-ungkapan tentang ada sisi positif lewat penjabarannya dalam wadah pendefinisian yang mencakup dua pengertian.

Pertama, kecerdasan emosi tidak bisa diartikan sebagai sikap ramah secara permanent. Ada kalanya di kesempatan-kesempatan tertentu justru terkesan tidak menyenangkan tapi dalam rangka pengungkapan suatu kebenaran yang mungkin cuma dengan itu kebenaran terlihat.

Kedua, kecerdasan emosional bukan sesuatu yang dipahami kebebasan perasaan untuk memenuhi –terlebih- memanjakan perasaan. Artinya, kecerdesan emosional bukan kecerdasan yang harus difungsikan untuk memenuhi sebatas perasaan dirinya sendiri saja, melainkan, kecerdasan ini adalah kecerdasan dalam mengelola perasaan sebaik mungkin sehingga tepat dalam tiap suasana yang berbeda. Sejalan dengan ungkapan Mahfudh dalam buku corat-coret pribadinya bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosional bukanlah orang yang cengeng menerima kenyataan pahit. Orang yang memiliki kecerdasan emosional adalah orang yang mampu menutup lukanya dengan LUKA yang baru. LUKA yang terakhir disebutkan ini berisi pacuan semangat 45’ yang mendorong sang patah semangat untuk terus me-LUKA (Lakukan Untuk Kemungkinan Akhir).[9]

E. Solusi

Solusi yang dapat penulis ajukan sejalan dengan Abuddin Nata bahwasanya permasalahan-permasalahan yang di muka telah penulis paparkan dapat diatasi dengan peningkatan pendidikan dengan mengikutsertakan materi yang bersifat pengembang kecerdasan emosional dalam kurikulum pendidikan, yang diharapkan pada akhirnya mampu menjadi penyeimbang kecerdasan intelektual para lulusan yang tidak jarang sering menjerumuskan sang intelek ke posisi yang tidak patut dikerjakan oleh orang berpendidikan.

Dari kutipan pernyatan Goleman hendaknya diperhatikan demi kesuksesan. Kunci sukses -menurut Goleman- bukanlah IQ atau kecerdasan intelektual, IQ memang berperang penting tapi tidak dalam posisi utama, IQ ada di posisi kedua setelah kecerdasan emosional.

Solusi lain bisa kita ambil inisiatif sendiri dari 3 faktor dominan penyebab kemerosotan itu sendiri yaitu dengan memperhatikan sisi kemanusiaan siswa yang sudah ada anugerah Tuhan berupa potensi dasar kecerdasan, sehingga dengan perhatian ini mau tidak mau dunia pendidikan harus memberi pengajaran dan pembimbingan potensi yang telah ada itu, di sinilah sebenarnya fungsi dunia pendidikan.


[1] Minteri berasal dari bahasa jawa pinter, yang berarti menipu

[2] Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990, p. 67

[3] W.J.S. Poerwadarminta. Kamus umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet.XII.,h.211

[4] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia 1980). Cet.VII. h.211

[5] Kongkow adalah bahasa jawa yang diartikan lebih pada kegiatan anak muda nongkrong

[6] Kalong adalah sejenis kelelawar besar yang hidupnya aktif di malam hari

[7] Abuddin Nata. Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2003), cet.I h.45-46

[8] Ibid

[9] Lihat Mahfudh Dimyati, Luka (Lakukan Untuk Kemungkinan Akhir), versi: 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar