Selasa, 24 Februari 2009

ISLAM POLITIK

Kata "politik" berasal dari bahasa Yunani politicos atau Latin politicus yang berarti "berhubungan dengan warga" (relating to citizen). Kedua kata tersebut berakar pada kata polis yang bermakna "kota". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "politik" diartikan sebagai "segala urusan atau tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain"; "kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menanga­ni suatu masalah)".

Ayat keempat surat al-Fatihah mengandung pelajaran politik. Di surat al-Fatikhah Allah disebut dengan maliki yaumid-diin (Penguasa hari pembalasan) dan di surat an-Naas Dia disebut dengan malikin-naas (Penguasa manusia). Dalam dzikir sesudah shalat, Allah juga sering disebut dengan al-Malikul Haqqul-Mubiin (Raja yang benar-benar nyata). Hal ini berarti bahwa Allah adalah Penguasa segalanya, sumber kekuasaan, dan pemilik segala kekuasaan. Kekuasaan atau jabatan manusia hakekatnya hanya milik Allah semata, bukan milik manusia.

Allah berfirman, yang artinya, “Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS al-Imran 3:26)

Al-Mawardi (975 – 1059 M), lengkapnya Abu Hasan Ali bin Habib al-Mawardi al-Bashri, adalah seorang pemikir Islam yang pernah menjadi pejabat tinggi pada masa pemerintahan Abasiyah. Dia menulis buku politik berjudul al-Ahkaam al-Sulthaniah (peraturan pemerintahan) dan Qawanin al-Wuzarah, Siyasah al-Malik (ketentuan kewaziran / kementrian, politik raja). Menurut Dia manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan sendirian tetapi dia harus bergaul dan berhubungan dengan orang lain. Dia menyatakan bahwa lahirnya suatu negara merupakan hajat ummat manusia untuk mencukupi kebutuhan mereka bersama sehingga harus saling membantu dan saling terikat. Menurut al-Mawardi, hidup bernegara harus memenuhi enam sendi utama, yaitu, agama yang dihayati dan diamalkan, penguasa yang berwibawa, keadilan yang menyeluruh, keamanan yang merata, kesuburan tanah yang berkesinambungan, dan harapan kelangsungan hidup.

Sendi pertama dalam hidup bernegara adalah warganya harus benar-benar menghayati, memahami, dan mengamalkan ajaran agama. Agama diperlukan untuk mengendalikan hawa nafsu, menyebarkan ketenangan, kedamaian serta kasih sayang, dan untuk mengoreksi penyimpangan-penyimpangan yang ada. Agamalah yang mengajarkan manusia tentang kebaikan, kebenaran, kedamaian, keadilan, dan kasih sayang. Sendi ini merupakan sendi yang terkuat untuk mewujudkan kebaikan suatu negara.

Sendi kedua ialah penguasa yang berwibawa. Penguasa yang berwibawa adalah penguasa yang bersih, lahir-batin, spiritual-material. Dia dikenal umum sebagai orang yang baik, bersih dari segala bentuk kemaksiatan dan penyelewengan jabatan. Kewibawaan dapat menjaga nama baik, melindungi kehormatan serta kekayaan negara, mempersatukan aspirasi yang berbeda-beda, dan memunculkan keberanian karena benar.

Sendi ketiga adalah keadilan yang menyeluruh, yaitu keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh warga bangsa. Keadilan mencakup seluruh aspek kehidupan seperti keadilan ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Sikap adil harus dimulai dari diri sendiri baru kemudian ke orang lain. Keadilan pada diri sendiri tercermin pada sikap senang mengerjakan semua perbuatan yang baik dan enggan melakukan perbuatan yang keji, dan dalam segala hal tidak melampaui batas. Keadilan kepada orang lain meliputi keadilan terhadap bawahan, atasan, dan setingkat.

Sendi keempat yaitu keamanan yang merata. Keamanan harus merata di seluruh daerah penjuru negeri. Keadilan yang menyeluruh melahirkan keamanan yang merata sehingga rakyat dapat hidup tenang (damai), tidak ada ketakutan, dan berkembang inisiatif serta kreasinya. Negara harus dihindarkan dari kekacauan, keresahan, perang, dan konflik berkepanjangan.

Sendi kelima ialah kesuburan tanah yang berkesinambungan. Hal ini juga berarti kekayaan alam yang terjaga dengan baik dan digunakan untuk kelangsungan hidup semua warga bangsa secara adil. Kekayaan alam tidak digadaikan atau dijual ke negara lain. Dengan demikian, ketersediaan pangan benar-benar terjamin, tidak selalu harus mengimpor pangan sehingga merugikan petani.

Sendi keenam adalah harapan kelangsungan hidup. Hal ini meliputi kelangsungan hidup bangsa secara umum dan kelangsungan hidup rakyat khususnya. Pembinaan generasi muda menjadi sangat penting untuk kelangsungan hidup bangsa. Ketahanan ekonomi yang kuat mendukung kelangsungan hidup rakyat. Sistem pendidikan yang tertata baik menjadi kelangsungan hidup bangsa dan warganya.

Pada tanggal 15-17 Oktober 2008 di Jepang, Japan International Institute of International Affairs (JIIA) mengadakan simposium tentang Islam in Asia, Revisiting the Socio-Political Dimension of Islam. Acara ini khusus untuk menyoroti fenomena bergeliatnya politik umat Islam di Asia, pasca peristiwa dramatis 11 september 2001. DR. Hamid Fahmy Zarkasyi, Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), putra pimpinan Pondok Modern Gontor, menghadiri simposium tersebut sebagai wakil dari Indonesia.

Berkaitan dengan Islam politik, khususnya tentang gerakan politik umat Islam, beliau memberi beberapa catatan sebagai berikut:

  1. Masalah yang mendasar sebelum mengkaji gerakan politik Islam adalah meninjau hubungan konseptual demokrasi, sekularisme dan Islam. Bagi Dr. Syed Ali Tawfik al-Attas, istilah demokrasi dan juga sekularisme yang kini mulai dipertanyakan sebagai standar kehidupan politik modern, sebenarnya membingungkan ketika harus didefinisikan. Sebab definisi pun tergantung kepada cara pandang masing-masing ilmuwan. Namun, kajian serius tentang kedua prinsip itu ujung-ujungnya adalah kebebasan dan keadilan, kesimpulan yang sama ketika orang mengkaji politik Islam, meskipun dalam pengertian yang berbeda. Namun ini tidak berarti bahwa sistem demokrasi Barat sepenuhnya sesuai dengan Islam, ungkapnya.
  2. Dr. Azzam Tamimi, Direktur London Based Institute of Islamic Political Thought (IIPT), London, dan Dr.Sohail Mahmud, Dekan Fakultas Politik dan Hubungan Internasional di International Islamic University Islamabad Pakistan sependapat bahwa prinsip-prinsip demokrasi telah terdapat dalam politik Islam. Bahkan menurut Tamimi Barat telah memodifikasi sistim shura dalam Islam menjadi demokrasi. Hanya saja jika Syed Ali Tawfik mempersoalkan teori demokrasi Barat, Sohail memandang bahwa praktek teori demokrasi ini dalam sejarahnya selalu saja bermasalah, sehingga tidak heran jika diantara umat Islam ada yang menerima dan ada yang menolak.
  3. Bagi Syed Ali, sekularisme adalah produk worldview Barat yang tidak cocok dengan Islam sama sekali. Sebab worldview Barat dan Islam kenyataannya memang sangat berbeda. Menurut Sohail sekularisme di Barat digunakan untuk memisahkan negara dari otoritas agama, tujuannya agar kedamaian dapat dipertahankan dalam masyarakat yang plural. Dengan menganut sekularisme juga kewargaan Negara tidak ditentukan oleh agama dan kepercayaan, tapi tergantung kepada hak dan kewajiban masing-masing warganegara. Namun, kenyataannya di negara-negara Islam sekularisme dipahami sebagai anti-agama dan anti-Islam. Mensitir Fazlurrahman, bagi Sohail sekularisme adalah “kutukan modernitas” yang menghancurkan universalitas dan kesucian semua nilai moralitas. Jadi sekularisme adalah bersifat atheistik.
  4. Tamimi juga melihat sekularisme sebagai pembebasan politik dari otoritas agama. Kolonialis berperan sangat besar dalam menyebarkan sekularisme ini. Sebab dengan konsep ini mereka dapat memarginalkan Islam atau menyingkirkan Islam dari proses restrukturisasi masyarakat pada masa kolonial dan paska kemerdekaan. Muslim yang terpengaruh oleh ide ini jelas berpandangan bahwa agar maju, Muslim harus mengikuti Kristen. Muslim harus membatasi dirinya pada masalah-masalah spiritiualitas dan kehidupan pribadi saja. Mereka juga beralasan jika Islam dikaitkan dengan masalah sosial dan politik ia akan bertentangan dengan sains dan teknologi. Padahal, lanjut Tamimi, kajian mutakhir menunjukkan bahwa sains dan teknologi Barat bagi Muslim hanyalah bagian dari ilmu dan amal yang dapat dipelajari dan digunakan tanpa harus menghilangkan identitas keagamaan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar